Halaman

Kamis, 10 Januari 2013

Thoharoh


1.    Najis Mukhofafah
Najis nya anak kecil laki-laki yang belum berumur dua tahun dan belum makan apa apa kecuali ASI.
Cara mensucikannya adalah dengan memercikkan air pada benda yang terkena najiz tersebut 
Sabda Rasul “ dibasuh dari kencing anak perempuan dan dipercikan air dari air kencingnya anak laki laki” HR.Abu Daud dan An Nasai
2.    Najis Mutawasittah
Yaitu najis nya bangkai, darah, nanah,arak dan kotoran manusia ataupun binatang.
Najis ini dibagi menjadi dua
a.    Najis ‘ainiyah
Yaitu najis mutawasitah yang masih kelihatan wujudnya, warna dan baunya.
Cara mensucikannya yaitu dengan menghilangkan najis tersebut dan membasuhnya dengan air sampai hilang bau rasa dan baunya.
b.    Najis hukmiyah
Najis yang diyakini adanya tetapi sudah tidak kelihatan wujudnya,warnanya dan baunya.
Contoh : air kencing yang sudah mengering cara membersihkannya cukup dengan menyiraminya dengan air mutlak pada tempat yang terkene najiznya tersebut.

3.    Najis Mughalladzoh
Yang termasuk najiz ini adalah air liur dan kotoran anjing dan babi.
Cara menghilangkannya adalah dengan mencuci najis tersebut dengan air sebanyak tujuh kali dan salah satunya dengan menggunakan debu.
“Sucinya tempat dan peralatan salah seorang kamu, apabila dijilat anjing hendaknya dicuci tujuh kali, salah satunyana dengan debu” HR,Muslim dari Abu Dawud


SHADAQAH, HIBAH, HADIAH DAN HIKMAHNYA



A. Shodaqoh dan Hadiah
1. Pengertian Shadaqah dan Hadiah
Shadaqah adalah pemberian sesuatu yang bersifat kebaikan dari seseorang kepada orang lain atau dari satu pihak kepada pihak lain tanpa mengharapkan apa-apa kecuali ridha Allah. Pengertian shadaqah sangat luas sebab semua yang kita berikan berupa kebaikan atau yang bermanfaat baik kepada manusia maupun binatang adalah shadaqah. Pengertian shadaqah tidak hanya berbentuk harta atau materi tapi juga immateri/rohaniyah. Semua pemberian yang kita berikan adalah cabang daripada shadaqah termasuk zakat, senyum kebaikan, dll.
Hadiah adalah memberikan sesuatu tanpa ada imbalannya dan dibawa ke tempat orang yang diberi karena hendah memuliakannya. Hadiah dapat di beri langsung atau diantar langsung tanpa melalui perantara kepada si penerima karena hadiah merupakan suatun penghargaan dari pemberi kepada si penerima atas prestasi atau yang dikehendakinya.
2. Hukm Shadaqah
Shadaqah itu sangat dianjurkan oleh agama karena dampaknya sangat luas baik bagi kehidupan individu maupun masyarakat bahkan bagi kelangsungan hidup beragama. Shadaqah yang sudah ditentukan ukuran, bentuk, dan waktunya seperti zakat hukumnya adalah wajib. Sedangkan yang tidak ditentukan julah dan waktunya hukumnya adalah sunnah muakkadah. Kecuali jika ada orang yang sangat membutuhkan uluran tangan orang yang mampu maka hukumnya adalah wajib. Adapula shadaqah yang tidak sah yaitu memberikan sesuatu kepada orang lain yang sudah mati.
Sedangkan hukum hadiah adalah mubah artinya boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan.
3. Perbedaan Shadaqah dan Hadiah
Antara shadaqah dannhadiah terdapat perbedaan yang nyata yaitu :
• Shadaqah ditujukan kepada orang terlantar atau sejenisnya. Sedangkan hadiah ditujukan kepada orang-orang yang sudah cukup
• Shadaqah untuk membantu orang yang terlantar untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sedangkan hadiah sebagai kenang-kenangan dan penghargaan kepada orang yang dihormati.
• Shadaqah adalah wajib dikeluarkan jika keadaan menghendaki sedangkan hadiah hukumnya mubah/boleh.
4. Syarat-Syarat Shadaqah dan Hadiah
 Orang yang memberikan shadaqah atau hadiah itu seghat akalnya dan tidak dibawah perwalian orang lain. Hadiah orang gila, anak-anak dan orang kurang sehat jiwanya seperti pemboros tidak sah shadaqah dan hadiahnya.
 Penerima shadaqah haruslah orang yang benar-benar memrlukan karena keadaannya yang terlantar. Maka nshadaqah yang diberikan kepada orang yang cukup tidak sah. Sedangkan penerima hadiah bukanlah orang yang memintanya tidak sah.
 Penerima shadaqah atau hadiah haruslah orang yang berhak memiliki jadi shadaqah atau hadiah kepada anak dalam kandungan tidak sah.
 Barang yang dishadaqahkan atau dihadiahkan harus bermanfaat bagi penerimanya.
5. Rukun Shadaqah dan Hadiah.
o Pemebri
o Penerima
o Ioajab dan qobul artinya pemberi menyatakan memberi dan penerima menyatakan menerima
o Barang atau benda yang dishadaqahkan atau dihadiahkan.
6. Hikmah Shadaqah dan Hadiah
 Dapat menolong orang yang membutuhkan dan memererat silaturrahim diantara sesamanya.
 Sebagai obat obat dari penyakit
 Dapat meredam murka Alloh atau menolak bencana dan menambah umur
 Memperoleh pahala yang mengalir terus
 Akan bertambah rizkinya
 Mengahpuskan kesalahan
 Mendapat balasan yang setimpal
 Mendapat pertolongan Alloh di akherat.
B. Hibah
1. Pengertian Hibah.
Hibah adalah pemberian sesuatu barang dari seseorang kepada orang lain tanpa sesuatu sebab, tanpa adanya ikatan apa-apa dan tidak mengharapkan imbalan kecuali mengharap ridha Allah. Bila seseorang ,memberikan hartanya kepada keluarga atau orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak pemilikan maka hal itu disebut pinjaman (‘Ariyah). Sedangkan bila hak pemilikan itu diberikan sesudah ia mati maka hal itu dinamakan washiat.
Dari segi bentuknya dapat berupa materi/barang yang bias bertahan lama. Sedangkan dari obyek yang diberinyabersifat perorangan bukan perkumpulan atau organisasi. Dari segi macamnya hibah terbagi menjadi 2, yaitu :
• Hibah benda yaitu menghibahkan suatu benda untuk memelikinya.
• Hibah manfaat yaitu menghibahkan manfaat suatu benda/barang tetapi status kepemilikannya tetap pada si pemberi.
2. Hukum Hibah
Hibah hukumnya sunnah dan lebih utama menghibahkan sesuatu kepada keluarga dekat, seperti dalam Al-qur’an surat al-Baqarah ayat 177 dan Al-Maidah ayat 2. Dalam pemberian hibah ini diperlukan ijab qabul dan sebaiknya dilaksanakan dengan dihadiri oleh dua orang saksi dan dibuktikan dengan bentuk tulisan.
3. Rukun dan Syarat Hibah
 Wahib yakni orang yang memberikan hibah dengan syarat-syarat berikut :
• Baligh dan berakal
• Dilakukan atas kemauan sendiri
• Dapat melakukan tindakan hukum
• Pemilik barang yang dihibahkan
 Mauhub lahu yakni orang yang diberi hibah dengan syarat-syarat berikut :
• Terbukti adanya pada waktu dilakukan hibah/ijab qabul
• Benar-benar berhak memiliki sesuatu yang dihibahkan.
• Bila saat diberi hibah masih kecil maka walinya bisa menggantikannya.
 Mauhub yakni barang yang dihubahkan
• Jelas dan ada wuijudnya/tidak samar
• Mempunyai nilai atau harga tertentu dan manfaat
• Barang yang dihibahkan benar-benar milik orang yang menghibahkan secara mutlak
 Ijab qabul yakni akad
4. Macam-macam Hibah
Hibah ada dua macam yaitu hibah barang dan hibah manfaat. Hibah barang ada yang bermaksud mencari pahala dan ada yang tidsak. Hibah yang dimaksud mencari pahala ada yang dimaksud untuk mencari keridhaan Alloh dan keridhaan makhluk. Hibah manfaat tyerdiri dari hibah berwaktu/hibah muajjalah dan hibah seumur hidup.an amri. Hibah muajjalah termasuk dalam kategori pinjaman/ariyah karena setelah lewat jangka waktu tertentu barang yang dihibahkan manfaatnya itu harus dikembalikan. Mengenai hibah seumur hidup terdapat beberapa pendapat ulama sebagai berikut :
 Imam Syafi’I, Abu Hanifah, Ats-Tsauri dan Ahmad berpendapat bahwa hibah seumur hidup adalah hibah yang terputus sama sekali yaitu hibah terhadap pokok barangnya.
 Imam Malik dan pengikutnya berpendapat bahwa penerima hibah tersebut hanya mendapat hak guna atau manfaat saja. Bila meninggal maka barangnya harus dikembalikan kepada pemberi atau ahli warisnya.
 Dawud dan Abu Tsauri berpendapat bahwa bila pembverian ditunjukkan kepada seseorang dan keturunannya, maka barang tersebut menjadi milik orang yang di beri hibah selamanya.

5. Hibah Maridhil Maut
Yang dimaksud maridhil maut adalah orang yang sakit menjelang kematian. Orang yang demikian bila memberikan sesuatu kepada orang lain maka hukumnya seperti washiat yaitu penerimanya harus bukan ahli waris dan jumlahnya tidak lebih dari 1/3 dari jumlah harta yang dimiliki oleh [pemberi washiat.
Bila seseorang menghibahkan harta kepada orang lain, lalu orang yang memberikan itu meninggal dunia dan harta peninggalannya dibagikan kepada ahli waris karena ahli waris mendakwa bahwa pemberian hibah pada saat almarhum sakit sedangkan orang yang diberi hibah menyatakan bahwa pemberian itu dilakukan pada saat almarhum sehat maka yang dibenarkan adalah orang menerima hibah karena pada saat itu pemberi hibah dapat membelanjakan harta.
Bila pemberian hibah itu menimbulkan pertengkaran di antara ahli waris maka hibahnya dibatalkan.
6. Hukum Pemcabutan Hibah
Jumhur ulam’ sepakat bbahwa mencabut hibah yang telah diberikan hukumnya adalah haram meskipun dilakukan antara saudara atau suami istri. Pencabutan dibolehkan bila ada yang hal-hal yang membolehkannya anatara lain :
• Pencabutan hibah seorang ayah kepada sebagaimana yang kan dijelaskan kemudian.
• Hibah yang diberikan itu belum sampai kepada orang yang diberi, disebabkan karena orang yang diberi hibah sedah meninggal terlebih dahulu
7. Hibah Kepada Anak.
Hibah yang utama adalah kepada kaum kerabat/keluarga dan yang sangat dekat adalah anak dengan tetap menjaga keadilan diantara mereka. Seperti dalam surat al-Baqarah ayat 177. Adil tidak tidak berarti sama rata sama rasa. Mungkin saja memberikan sesuatu yang sama pada anak-anak yang berbeda bias menjadi tidak adil.
8. Hikmah Hibah
• Dapat membantu si penerima hibah dari berbagai kesulitan hidup
• Untuk mengakrabkan silaturrahim dan menjinakkan hati serta meneguhkan kecintaan di antara sesamanya.
• Mendapatkan perlindungan dari Alloh
• Terhindar dari apai neraka di akherat kelak.
05:06  SHOIM  NO COMMENTS

HIBAH



1. Pengertian dan Hukum Hibah
Hibah adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia hidup

tanpa adanya imbalan sebagai tanda kasih sayang.

Firman Allah SWT. :

وَأَتَىالْمَالَ عَلَىحُبِّهِ ذَوِىالْقُرْبَىوَالْيَتَمَىوَالْمَسَاكِيْنِ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَالسَّائِلِيْنَ وَفِىالرِّقَابِ

“Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang

miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta dan (memerdekakan) hamba sahaya” (QS. Al Baqarah : 177).

Memberikan Sesutu kepada orang lain, asal barang atau harta itu halal termasuk perbuatan terpuji dan mendapat pahala dari Allah SWT. Untuk itu hibah hukumnya mubah.

Sabda Nabi SAW. :

عَنْ خَالِدِابْنِ عَدِيِ أَنَّ النَّبِىَص م قَالَ مَنْ جَاءَهُ مِنْ اَخِيْهِ مَعْرُوْفٌ مِنْ غَيْرِإِسْرَافٍ وَلاَمَسْأَلَةٍ فَلْيَقْبِلْه ُ  وَلاَيَرُدُّهُ فَإِنَّمَا هُوَرِزْقٌ سَاقَهُ الله ُاِلَيْهِ (رواه احمد)

“Dari Khalid bin Adi, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. telah bersabda, : “Barang siapa yang diberi oleh saudaranya kebaikan dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak ia minta, hendaklah diterima (jangan ditolak). Sesungguhnya yang demikian itu pemberian yangdiberikan Allah kepadanya” (HR. Ahmad).


2. Rukun dan Syarat Hibah
a. Pemberi Hibah (Wahib)
Syarat-syarat pemberi hibah (wahib) adalah sudah baligh, dilakukan atas dasar kemauan sendiri, dibenarkan melakukan tindakan hukum dan orang yang berhak memiliki barang.

b. Penerima Hibah (Mauhub Lahu)
Syarat-syarat penerima hibah (mauhub lahu), diantaranya :

Hendaknya penerima hibah itu terbukti adanya pada waktu dilakukan hibah. Apabila tidak ada secara nyata atau hanya ada atas dasar perkiraan, seperti janin yang masih dalam kandungan ibunya maka ia tidak sah dilakukan hibah kepadanya.

c. Barang yang dihibahkan (Mauhub)
Syarat-syarat barang yang dihibahkan (Mauhub), diantaranya : jelas terlihat wujudnya, barang yang dihibahkan memiliki nilai atau harga, betul-betul milik pemberi hibah dan dapat dipindahkan status kepemilikannya dari tangan pemberi hibah kepada penerima hibah.

d. Akad (Ijab dan Qabul), misalnya si penerima menyatakan “saya hibahkan atau kuberikan tanah ini kepadamu”, si penerima menjawab, “ya saya terima pemberian saudara”.
3. Macam-macam Hibah
Hibah dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu :

Hibah barang adalah memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada tendensi (harapan) apapun. Misalnya  menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya.
Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau barang yang dihibahkan itu, namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.
4. Mencabut Hibah
Jumhur ulama berpendapat bahwa mencabut hibah itu hukumnya haram, kecualii hibah

orang tua terhadap anaknya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. :

لاَيَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُعْطِىعَطِيَّةًأَوْيَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعُ فِيْهَا إِلاَّالْوَالِدِفِيْمَايُعْطِىلِوَلَدِهِ

“Tidak halal seorang muslim memberikan suatu barang kemudian ia tarik kembali, kecuali seorang bapak kepada anaknya” (HR. Abu Dawud).

Sabda Rasulullah SAW. :

اَلْعَائِدُ فِىهِبَتِهِ كَااْلكَلْبِ يُقِئُ ثُمَّ يَعُوْدُفِىقَيْئِهِ (متفق عليه)

“Orang yang menarik kembali hibahnya sebagaimana anjing yang muntah lalu dimakannya kembali muntahnya itu” (HR. Bukhari Muslim).

Hibah yang dapat dicabut, diantaranya sebagai berikut :

Hibahnya orang tua (bapak) terhadap anaknya, karena bapak melihat bahwa mencabut itu demi menjaga kemaslahatan anaknya.
Bila dirasakan ada unsur ketidak adilan diantara anak-anaknya, yang menerima hibah..
Apabila dengan adanya hibah itu ada kemungkinan menimbulkan iri hati dan fitnah dari pihak lain.
5. Beberapa Masalah Mengenai Hibah
Pemberian Orang Sakit yang Hampir Meninggal
Hukumnya adalah seperti wasiat, yaitu penerima harus bukan ahli warisnya dan

jumlahnya tidak lebih dari sepertiga harta. Jika penerima itu ahli waris maka hibah itu tidak sah. Jika hibah itu jumlahnya lebih dari sepertiga harta maka yang dapat diberikan kepada penerima hibah (harus bukan ahli waris) hanya sepertiga harta.

Penguasaan Orang Tua atas Hibah Anaknya
Jumhur ulama berpendapat bahwa seorang bapak boleh menguasai barang yang

dihibahkan kepada anaknya yang masih kecil dan dalam perwaliannya atau kepada anak yang sudah dewasa, tetapi lemah akalnya. Pendapat ini didasarkan pada kebolehan meminta kembali hibah seseorang kepada anaknya.

6. Hikmah Hibah
Adapun hikmah hibah adalah :

Menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama
Menumbuhkan sikap saling tolong menolong
Dapat mempererat tali silaturahmi
Menghindarkan diri dari berbagai malapetaka.
B. SHADAQAH DAN HADIAH

1. Pengertian dan Dasar Hukum Shadaqah dan Hadiah
Shadaqah adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain tanpa adanya imbalan dengan harapan mendapat ridla Allah SWT. Sementara hadiah adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain tanpa adanya imbalan sebagai penghormatan atas suatu prestasi. Shadaqah itu tidak hanya dalam bentuk materi, tetapi juga dalam bentuk tindakan seperti senyum kepada orang lain termasuk shadaqah. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW. :

تَبَسُّمُكَ فِىوَجْهِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ (رواهالبخارى)

“Tersenyum dihadapan temanmu itu adalah bagian dari shadaqah” (HR. Bukhari).


Hukum hadiah-menghadiahkan dari orang Islam kepada orang diluar Islam atau sebaliknya adalah boleh karena persoalan ini termasuk sesuatu yang berhubungan dengan sesama manusia (hablum minan naas).


2. Hukum Shadaqah dan Hadiah
Hukum shadaqah adalah sunah
Hukum hadiah adalah mubah artinya boleh saja dilakukan dan boleh ditinggalkan.
Sabda Rasulullah SAW. :

عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّهُمَّ عَنْهُمَ عَنِ النَّبِيْ ص م قَالَ لَوْدُعِيْتُ إِلَىذِرَاعٍ أَوْكُرَاعٍ لَأَجَبْتُ وَلَوْ

أُهْدِيَ اِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْكُرَاعٌ لَقَبِلْتُ (رواه البخارى)

“Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW.telah bersabda sekiranya saya diundang untuk makan sepotong kaki binatang, undangan itu pasti saya kabulkan, begitu juga kalau potongan kaki binatang dihadiahkan kepada saya tentu saya terima” (HR. Bukhari).


3. Perbedaan antara Shadaqah dan Hadiah
Shadaqah ditujukan kepada orang terlantar, sedangkan hadiah ditujukan kepada orang yang berprestasi.
Shadaqah untuk membantu orang-orang terlantar memenuhi kebutuhan pokoknya, sedangkan hadiah adalah sebagai kenang-kenangan dan penghargaan kepada orang yang dihormati.
Shadaqah adalah wajib dikeluarkan jika keadaan menghendaki sedangkan hadiah hukumnya mubah (boleh).
4. Syarat-syarat Shadaqah dan Hadiah
Orang yang memberikan shadaqah atau hadiah itu sehat akalnya dan tidak dibawah perwalian orang lain. Hadiah orang gila, anak-anak dan orang yang kurang sehat jiwanya (seperti pemboros) tidak sah shadaqah dan hadiahnya.
Penerima haruslah orang yang benar-benar memerlukan karena keadaannya yang terlantar.
Penerima shadaqah atau hadiah haruslah orang yang berhak memiliki, jadi shadaqah atau hadiah kepada anak yang masih dalam kandungan tidak sah.
Barang yang dishadaqahkan atau dihadiahkan harus bermanfaat bagi penerimanya.
5. Rukun Shadaqah dan Hadiah
Pemberi shadaqah atau hadiah.
Penerima shadaqah atau hadiah.
Ijab dan Qabul artinya pemberi menyatakan memberikan, penerima menyatakan suka.
Barang atau Benda (yang dishadaqahkan/dihadiahkan).
6. Hikmah Shadaqah dan Hadiah
Hikmah Shadaqah
1). Menumbuhkan ukhuwah Islamiyah

2). Dapat menghindarkan dari berbagai bencana

3). Akan dicintai Allah SWT.

Hikmah Hadiah
1). Menjadi unsur bagi suburnya kasih sayang

2). Menghilangkan tipu daya dan sifat kedengkian.

Sabda Nabi Muhammad SAW. :

تَهَادُوْافَإِنَّ الْهَدِيَّةَتُذْهِبُ وَحَرَّالصَّدْرِ (رواه ابو يعلى)

“Saling hadiah-menghadiahkan kamu, karena dapat menghilangkan tipu daya dan

kedengkian” (HR. Abu Ya’la).


عَلَيْكُمْ بِالْهَدَايَافَاِنَّهَاتُورِثُ الْمَوَدَّةَوَتُذْهِبُ الضَّغَائِنَ (رواه الديلمى)

“Hendaklah kamu saling memberi hadiah, karena ia akan mewariskan kecintaan dan menghilangkan kedengkian-kedengkian” (HR. Dailami).

Rabu, 09 Januari 2013

Halal dan Haram dalam Islam

1.Keadaan Darurat dan Pengecualiannya
Semua binatang yang diharamkan sebagaimana tersebut di atas, adalah berlaku ketika dalam keadaan normal. Adapun ketika dalam keadaan darurat, maka hukumnya tersendiri, yaitu Halal.
Firman Allah:
"Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia telah haramkan atas kamu, kecuali kamu dalam keadaan terpaksa." (al-An'am: 119)
Dan di ayat lain, setelah Allah menyebut tentang haramnya bangkai, darah dan sebagainya kemudian diikutinya dengan mengatakan:
"Barangsiapa terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas, maka tidak ada dosa atasnya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih." (al-Baqarah: 173)
Darurat yang sudah disepakati oleh semua ulama, yaitu darurat dalam masalah makanan, karena ditahan oleh kelaparan. Sementara ulama memberikan batas darurat itu berjalan sehari-semalam, sedang dia tidak mendapatkan makanan kecuali barang-barang yang diharamkan itu. Waktu itu dia boleh makan sekedarnya sesuai dengan dorongan darurat itu dan guna menjaga dari bahaya.
Imam Malik memberikan suatu pembatas, yaitu sekedar kenyang, dan boleh menyimpannya sehingga mendapat makanan yang lain.
Ahli fiqih yang lain berpendapat: dia tidak boleh makan, melainkan sekedar dapat mempertahankan sisa hidupnya.
Barangkali di sinilah jelasnya apa yang dimaksud dalam firman Allah Ghaira baghin wala 'adin (dengan tidak sengaja dan melewati batas) itu.
Perkataan ghairah baghin maksudnya: Tidak mencari-cari alasan karena untuk memenuhi keinginan (seleranya). Sedang yang dimaksud dengan wala 'adin, yaitu: Tidak melewati batas ketentuan darurat. Sedang apa yang dimaksud dengan daruratnya lapar, yaitu seperti yang dijelaskan Allah dalam firmannya, dengan tegas Ia mengatakan:
"Dan barangsiapa yang terpaksa pada (waktu) kelaparan dengan tidak sengaja untuk berbuat dosa, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih. " (al-Maidah: 3)

2. Daruratnya Berobat
Daruratnya berobat, yaitu ketergantungan sembuhnya suatu penyakit pada memakan sesuatu dari barang-barang yang diharamkan itu. Dalam hal ini para ulama fiqih berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat, berobat itu tidak dianggap sebagai darurat yang sangat memaksa seperti halnya makan. Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadis Nabi yang mengatakan:
"Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhanmu dengan sesuatu yang Ia haramkan atas kamu." (Riwayat Bukhari)
Sementara mereka ada juga yang menganggap keadaan seperti itu sebagai keadaan darurat, sehingga dianggapnya berobat itu seperti makan, dengan alasan bahwa kedua-duanya itu sebagai suatu keharusan kelangsungan hidup. Dalil yang dipakai oleh golongan yang membolehkan makan haram karena berobat yang sangat memaksakan itu, ialah hadis Nabi yang sehubungan dengan perkenan beliau untuk memakai sutera kepada Abdur-Rahman bin Auf dan az-Zubair bin Awwam yang justru karena penyakit yang diderita oleh kedua orang tersebut, padahal memakai sutera pada dasarnya adalah terlarang dan diancam.2
Barangkali pendapat inilah yang lebih mendekati kepada jiwa Islam yang selalu melindungi kehidupan manusia dalam seluruh perundang-undangan dan rekomendasinya.
Tetapi perkenan (rukhsah) dalam menggunakan obat yang haram itu harus dipenuhinya syarat-syarat sebagai berikut:
1.    Terdapat bahaya yang mengancam kehidupan manusia jika tidak berobat.
2.    Tidak ada obat lain yang halal sebagai ganti Obat yang haram itu.
3.    Adanya suatu pernyataan dari seorang dokter muslim yang dapat dipercaya, baik pemeriksaannya maupun agamanya (i'tikad baiknya).
Kami katakan demikian sesuai dengan apa yang kami ketahui, dari realita yang ada dari hasil penyelidikan dokter-dokter yang terpercava, bahwa tidak ada darurat yang membolehkan makan barang-barang yang haram seperti obat. Tetapi kami menetapkan suatu prinsip di atas adalah sekedar ikhtiyat' (bersiap-siap dan berhati-hati) yang sangat berguna bagi setiap muslim, yang kadang-kadang dia berada di suatu tempat yang di situ tidak ada obat kecuali yany haram.

3. Perseorangan Tidak Boleh Dianggap Darurat Kalau Dia Berada Dalam Masyarakat yang di Situ Ada Sesuatu yang Dapat Mengatasi Keterpaksaannya Itu
Tidak termasuk syarat darurat hanya karena seseorang itu tidak mempunyai makanan, bahkan tidak termasuk darurat yang membolehkan seseorang makan makanan yang haram, apabila di masyarakatnya itu ada orang, muslim atau kafir, yang masih mempunyai sisa makanan yang kiranya dapat dipakai untuk mengatasi keterpaksaannya itu. Karena prinsip masyarakat Islam adalah harus ada perasaan saling bertanggungjawab dan saling bantu-membantu dan bersatu padu bagaikan satu tubuh atau bangunan yang satu sama lain saling kuat-menguatkan.
Salah satu hasil tinjauan yang sangat bernilai oleh para ahli fiqih Islam terhadap masalah solidaritas sosial, yaitu seperti yang pernah dikatakan oleh Ibnu Hazm: "Bahwa tidak halal bagi seorang muslim yang dalam keadaan terpaksa untuk makan bangkai atau babi, sedangkan dia masih mendapatkan makanan dari kelebihan kawannya yang muslim ataupun kafir zimmi. Karena suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang yang mempunyai makanan, yaitu memberikan makanan tersebut kepada rekannya yang sedang kelaparan.
Kalau betul keadaannya demikian, dia tidak dapat dikategorikan terpaksa yang boleh makan bangkai dan babi. Dan dia boleh memerangi keadaan seperti itu. Kalau dia terbunuh dalam persengketaan itu, si pembunuhnya dikenakan hukuman qisas, dan kalau yang menahan uangnya itu sampai terbunuh, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, karena dia menahan hak orang. Dia akan dapat digolongkan sebagai bughat (orang-orang yang zalim).
Seperti firman Allah:
"Kalau salah satunya berbuat zalim kepada yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat zalim itu sehingga mereka mau kembali kepada hukum Allah." (al-Hujurat: 9)
Orang yang menentang suatu perbuatan baik adalah orang berbuat jahat kepada kawannya yang mempunyai hak. Justru itulah Abubakar as-Siddiq memerangi orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat.3

4.  Penyembelihan Menurut Syara'

5. Binatang Laut dan Darat
    BINATANG, dilihat dari segi tempatnya ada dua macam: Binatang laut dan binatang darat.

6.Binatang laut yaitu semua binatang yang hidupnya di dalam air
   Binatang ini semua halal, didapat dalam keadaan bagaimanapun, apakah waktu diambilnya itu     masih dalam keadaan hidup ataupun sudah bangkai, terapung atau tidak. Binatang-binatang tersebut berupa ikan ataupun yang lain, seperti: anjing laut, babi laut dan sebagainya.
Bagi yang mengambilnya tidak lagi perlu diperbincangkan, apakah dia seorang muslim ataupun orang kafir. Dalam hal ini Allah memberikan keleluasaan kepada hamba-hambaNya dengan memberikan perkenan (mubah) untuk makan semua binatang laut, tidak ada satupun yang diharamkan dan tidak ada satupun persyaratan untuk menyembelihnya seperti yang berlaku pada binatang lainnya. Bahkan Allah menyerahkan bulat-bulat kepada manusia untuk mengambil dan menjadikannya sebagai modal kekayaan menurut kebutuhannya dengan usaha semaksimal mungkin untuk tidak menyiksanya.
Firman Allah:
"Dialah Zat yang memudahkan laut supaya kamu makan daripadanya daging yang lembut." (an-Nahl: 14)
"Dihalalkan buat kamu binatang buronan laut dan makanannya sebagai perbekalan buat kamu dan untuk orang-orang yang belayar." (al-Maidah: 96)
Di sini Allah menyampaikan secara umum, tidak ada satupun yang dikhususkan, sedang Allah tidak akan lupa (wamakana rabbuka nasiyan).

7. Binatang darat yang haram
Tentang binatang darat, al-Quran tidak jelas menentukan yang haram, melainkan babi, darah, bangkai dan yang disembelih bukan karena Allah, sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa ayat terdahulu, dengan susunan yang terbatas pada empat macam dan diperinci menjadi 10 macam.
Tetapi di samping itu al-Quran juga mengatakan:
"Dan Allah mengharamkan atas mereka yang kotor-kotor." (al-A'raf: 157)
Yang disebut Khabaits (yang kotor-kotor), yaitu semua yang dianggap kotor oleh perasaan manusia secara umum, kendati beberapa prinsip mungkin menganggap tidak kotor. Justru itu Rasulullah dalam hadisnya melarang makan keledai kota pada hari Khaibar.
Hadisnya itu berbunyi sebagai berikut:
"Rasulullah s.a.w. melarang makan daging keledai kota pada hari perang Khaibar."4 (Riwayat Bukhari)
Dan untuk itu diriwayatkan bahwa Rasulullah melarang binatang yang bertaring dan burung yang berkuku mencengkeram:
"Rasulullah melarang makan semua binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku mencengkeram." (Riwayat Bukhari)
Yang dimaksud Binatang Was (siba'), yaitu binatang yang menangkap binatang lainnya dan memakan dengan bengis, seperti singa, serigala dan lain-lain. Dan apa yang dimaksud dengan burung yang berkuku (dzi mikhlabin minath-thairi), yaitu yang kukunya itu dapat melukai, seperti burung elang, rajawali, ruak-ruak bangkai dan burung yang sejenis dengan elang.
Ibnu Abbas berpendapat, bahwa binatang yang haram dimakan itu hanya empat seperti yang tersebut dalam ayat. Seolah-olah beliau menganggap hadis-hadis di atas dan lain-lain sebagai mengatakan makruh, bukan haram. Atau mungkin karena hadis-hadis tersebut tidak sampai kepadanya.
Ibnu Abbas juga pernah berkata: "Bahwa orang-orang jahiliah pernah makan sesuatu dan meninggalkan sesuatu karena dipandang kotor. Kemudian Allah mengutus nabiNya dan menurunkan kitabNya. Di situlah menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Oleh karena itu, apa yang dihalalkan, berarti halal, dan apa yang diharamkan, berarti haram, sedang yang didiamkan berarti dimaafkan (halal). Kemudian ia membaca ayat:
"Katakanlah! Saya tidak mendapatkan sesuatu yang diwahyukan kepadaku tentang makanan yang diharamkan bagi orang yang mau makan kecuali ..." (al-An'am: 145)5
Berdasar ayat ini, Ibnu Abbas berpendapat bahwa daging keledai kota itu halal.
Pendapat Ibnu Abbas ini diikuti oleh Imam Malik, dimana beliau tidak menganggap haram terhadap binatang-binatang buas dan sebagainya, tetapi ia hanya menganggap makruh.
Yang sudah pasti, bahwa penyembelihan secara syara' tidak mempengaruhi halalnya binatang-binatang yang haram itu, tetapi mempengaruhi terhadap sucinya kulit sehingga tidak perlu lagi disamak.
oleh Yusuf Qardhawi

Sifat Wajib Bagi Allah


Imankepada Allah hukumnyawajibbagisemuamuslim. Pengakuanimantidakcukupdiucapkanlisan, tetapijugaharusdisertaidenganperbuatannyata.Kita harussenantiasataatmenjalankansemuaperintah Allah, danmenjauhisemualarangan-Nya.
Keimananbisaditingkatkandenganmengenaldanmemahamisifatwajibbagi  Allah. Adapunsifatwajibbagi Allah adalahsebagaiberikut:
1.    Wujuud                               
2.    Qidam
3.    Baqa’
4.    Mukhaalawatuulilhawaadisi
5.    Qiyamuhubinafsihi
6.    Wahdaniyah
7.    Qudrah
8.    Iraadah
9.    ‘Ilmu
10.    Hayaah
11.    Sama’
12.    Basar
13.    Kalaam
14.    Qaadirn
15.    Muriidan
16.    ‘Aliiman
17.    Hayyan
18.    Samii’an
19.    Basiiran
20.    Mutakaliman
2.    MengartikanSifatWajibBagi Allah

Adapun arti sifat wajib bagi Allah adalah sebagai berikut:
1.    Wujuud artinya ada
2.    Qidam artinya terdahulu
3.    Baqa’ artinya kekal
4.    Mukhaalawatuulilhawaadisi artinya berbeda dengan makhluknya
5.    Qiyamuhubinafsihi artinya berdiri sendiri
6.    Wahdaniyah artinya Maha Esa
7.    Qudrah artinya berkuasa
8.    Iraadah artinya berkehendak
9.    ‘Ilmu artinya maha mengetahui
10.    Hayaah artinya hidup
11.    Sama’ artinya mendengar
12.    Basar artinya mendengar
13.    Kalam artinya berbicara atau berfirman
14.    Qaadirn artiny azat yang maha berkuasa
15.    Muriidan artinya zat yang maha berkehendak
16.    ‘Aliiman artinya zat yang maha mengetahui
17.    Hayyan artinya zat yang hidup
18.    Samii’an artinya zat yang maha mendengar
19.    Basiiran artinya zat yang maha melihat
20.    Mutakaliman artinya zat yang maha berbicara atau berfirman